dorami

banner image

Palestina: Tentang Kedamaian Hati




“Sekali saja, pernahkah engkau memikirkan apa itu hidup? Apakah seseorang pernah menanyakannya, apakah engkau lancar menjawabnya? Atau mungkin engkau terdiam sejenak lalu memikirkannnya? Apakah engkah punya jawabannya? Apakah engkau merasa menang saat berhasil menghancurkan kami? Tidak kah hatimu punya belas kasih? Jika tidak coba kau renungkan! Aku sungguh malas meladeni sampah sepertimu! Hari ini kubiarkan engkau hidup agar engkau mencari jawabannya”

Saat itu aku mendelik marah, sorot mata yang tajam seperti akan menghabisi dirimu. Kepalan tanganku bersiap menghantammu. Meski begitu, aku tahu aku tak akan melakukannya, sudah habis kekuatanku. Aku telah kalah, hampir saja pedangmu menggorok leherku. Tapi, entah bagaimana engkau membiarkannya dan hanya membalas menatapku tapi bukan tatapan kemarahan. Sebentar kemudian, kualihakan pandangan, mataku sayu, terluka. Kau memandangku iba!

Saat itu, pertama kalinya aku bertemu denganmu. Aku seorang tentara zionis yang hanya menjalankan tugas untuk merebut negaramu. Aku bersama pasukanku menjalankan tugas ini tanpa belas kasih. Tak perduli jika anak-anak dari bangsa kalian harus menderita kehilangan orang tua, kehilangan masa kecil indah, dan kehilangan tempat yang hangat untuk tempat bernaung.

Tentu saja tugas kami istimewa. Menakuti, membunuh mimpi-mimpi, memutuskan kebahagian, dan menanamkan kebencian dalam hati kalian atau menghilngkan ras dan agama  kalian adalah kebahagian kami. Namun hari itu entah mengapa senyummu, pandanganmu, belas kasihmu telah menimbulkan ketakutan dalam hatiku.

Sudah berbulan-bulan sejak kejadian itu, hatiku tetap resah, Kau biarkan Aku tetap hidup dengan membawa pertanyaan-pertanyaan darimu dan menghantui malam-malamku. Kau selalu datang dalam bayang dan mimpiku. Wajahmu yang penuh cahaya dan tenang selalu bertanya-tanya “Untuk apa engkau hidup? Apakah di hatimu ada belas kasih? Apakah Tuhanmu menciptakanmu hanya untuk membunuh? Kau taruh dimana akalmu dan hatimu?”

“Tidaaakkk.... hentikan!” pergi!
“Daniel! Bangun! Daniel! Bangun” (ibuku mengguncangkan tubuhku)
“Tidak....”. Aku terbangun dengan terkejut, kulihat Ibuku menatap
“Kau mimpi buruk?” tanyanya sambil menuangkan air putih yang Ibu ambil dari meja samping tempat tidurku.
“Ibu, sepertinya besok aku harus mengundurkan diri”. Sambil meneguk air putih, kucoba berbicara kapada Ibu.
“Mengapa?” tanya Ibuku
“Aku... Aku tak akan sanggup lagi harus menderita. Peperangan ini, apakah ini dibenarkan, Bu? Apakah benar Tuhan kita mengajarkan kita begini?, mengapa nyawa begitu tak berguna, apakah hanya ras dan agama kita yang boleh hidup dan tegak berdiri?” Kuajukan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuatku resah. Ibu diam membisu, sepertinya Iapun tak punya jawaban. “Tidurlah...” ucap Ibuku.

Sejujurnya malam ini bukanlah pertama kali aku bermimpi. Sudah tiga bulan tepatnya aku selalu dihantui. Bukan hanya pertanyaan-pertanyaan dari lelaki yang memberikanku kesempatan untuk hidup itu, tapi juga wajah anak-anak yang penuh darah. Mereka menangis meminta dikembalikan orang tua dan kebagian mereka. Huh! Aku mirip orang gila. Dan kali ini aku sudah sangat lelah. Aku harus memutuskan. Aku tahu resikonya. Tapi bagaimana lagi? Toh aku sudah terlalu lelah dan muak. Biarlah aku diasingkan. Lalu bagaimana dengan Ibu? Aku akan memikirkannya nanti.

Kutekadkan hatiku. Kudatangi atasanku, aku bicara padanya. Tentu saja, aku mendapatkan perlakuan kasar darinya. Ia tak sudi menerima alasanku. Sudah berapa kali tamparan dan tendangan mendarat di tubuhku, belum lagi cacian dan hinaan tak berhenti Ia lontarkan. Aku tak membalas. Kubiarkan Ia. Aneh, hatiku tenang. Perihnya tamparan dan tendangan, hinaan dan caciannya tak sebanding dengan tatapan laki-laki itu.  

Akhirnya, atasanku menyerah. Ia membiarkanku pergi. Pergi dengan syarat. aku menerima cap penghianat. Aku tak mendapat pesangon. Senjataku dilucuti. Namun, Aku pergi dengan ketegasan dan harapan baru.

Dua bulan setelah kejadian, aku mulai bangkit dan entah mengapa aku berniat mencari laki-laki yang telah menghantuiku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Aku tahu, Ia adalah pimpinan pasukan. Tak sulit mencarinya. Di camp-camp pengungsian, aku menemuinya.

“Ada apa?” tanyanya.
“Aku datang dengan damai, tak bermaksud lainnya” Kumelihat sorot mata yang curiga.
“Lalu?” tanyanya singkat.
“Ajari Aku tentang kedamaian hati” balasku.
“Maksudmu? Tanyanya dengan memiringkan wajahnya. Ia pasti tak mempercayaiku.
“Aku tertarik dengan hidup kalian, agama kalian, dan mengapa kalian masih tak menyerah padahal minim sarana prasarana. Minim sandang pangan dan sebaginya. Apa yang membuat kalian begitu tegar. Kenapa kalian tak meninggalkan negeri ini? Aku ingi tahu!” kataku penuh emosi.

Ia tersenyum. Sungguh laki-laki yang aneh. Pikirku. Sedetik kemudian Ia mengatakan sesuatu
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan suatu benda yang diciptakan Allah, bayangnya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri, dalam keadaan bersujud kepada Allah, dan mereka bersikap rendah hati” (Q.S An. Nahl, 16 : 48)

Hatiku tiba-tiba dilanda perasaan aneh. Serasa bumi berhenti. Kata-kata itu pasti bukan berasal dari manusia pikirku saat itu. Mengapa kedamaian itu hadir. Air mataku meleleh. Entah perasaan apa ini?.

“A...ajarkan Aku. Aku ingin memeluk agamamu.” Aku tiba-tiba mengatakannya dengan penuh haru. kemudian engkau menuntunku mengucapkan dua kaliamt sahadat yang disaksikan anak-anak dan orang-orang yang ada dipengungsian. Resmi sudah aku menjadi seorang muslim. Aku bahagia.

Aku temukan jawaban apa itu artinya hidup? Dalam Islam aku temukan jawabanya bahwa hidup adalah tentang menggerakan hati. Menerima seseorang, membenci dan menyukai seseorang, memperjuangkan sesuatu yang berharga, bersyukur dan bisa bermanfaat bagi orang lain itulah hidup. Aku tak akan menyia-nyiakannya. Kesempatan yang Tuhan berikan dalam batas waktu yang sangat singkat.

Satu tahun kemudian setelah aku menjadi muslim, Tiba-tiba penjajah kembali meluncurkan bom. Meraka memaksa kami untuk berperang. Orang-orang dulunya adalah temanku kini menjadi musuhku. Aku tak bisa berdiam diri. Aku harus berjuang menghalau mereka. Tak kubiarkan sejengkal tanah tumpah darah kami direbut olehnya. Palestina lebih berhagra dari jiwa ini. Kubabat habis mereka, hingga tanpa kusadari aku terlampau jauh dari pasukanku. Aku terkepung dan mereka tiba-tiba menghunuskan pedangnya. Aku terdiam. Lailaaha illallaah , Muhammadar Rasulullah....tiba-tiba pandanganku gelap. Tunai sudah keresahan-keresahan itu. Aku berpindah ke dimensi lain meninggalkan segalanya tentang dunia. Kutemui Rabb dengan penuh kebahagian.


Palembang, 29 September 2019
#KantinKrem
#FLPOKU
#LampauiBatasmu
Palestina: Tentang Kedamaian Hati Palestina: Tentang Kedamaian Hati Reviewed by Ica Dorami on September 29, 2019 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.