“Sekali saja, pernahkah engkau memikirkan
apa itu hidup? Apakah seseorang pernah menanyakannya, apakah engkau lancar
menjawabnya? Atau mungkin engkau terdiam sejenak lalu memikirkannnya? Apakah engkah
punya jawabannya? Apakah engkau merasa menang saat berhasil menghancurkan kami?
Tidak kah hatimu punya belas kasih? Jika tidak coba kau renungkan! Aku sungguh
malas meladeni sampah sepertimu! Hari ini kubiarkan engkau hidup agar engkau
mencari jawabannya”
Saat itu aku mendelik marah, sorot mata
yang tajam seperti akan menghabisi dirimu. Kepalan tanganku bersiap
menghantammu. Meski begitu, aku tahu aku tak akan melakukannya, sudah habis
kekuatanku. Aku telah kalah, hampir saja pedangmu menggorok leherku. Tapi, entah
bagaimana engkau membiarkannya dan hanya membalas menatapku tapi bukan tatapan
kemarahan. Sebentar kemudian, kualihakan pandangan, mataku sayu, terluka. Kau
memandangku iba!
Saat itu, pertama kalinya aku bertemu
denganmu. Aku seorang tentara zionis yang hanya menjalankan tugas untuk merebut
negaramu. Aku bersama pasukanku menjalankan tugas ini tanpa belas kasih. Tak perduli
jika anak-anak dari bangsa kalian harus menderita kehilangan orang tua,
kehilangan masa kecil indah, dan kehilangan tempat yang hangat untuk tempat
bernaung.
Tentu saja tugas kami istimewa. Menakuti,
membunuh mimpi-mimpi, memutuskan kebahagian, dan menanamkan kebencian dalam
hati kalian atau menghilngkan ras dan agama kalian adalah kebahagian kami. Namun hari itu
entah mengapa senyummu, pandanganmu, belas kasihmu telah menimbulkan ketakutan
dalam hatiku.
Sudah berbulan-bulan sejak kejadian itu,
hatiku tetap resah, Kau biarkan Aku tetap hidup dengan membawa
pertanyaan-pertanyaan darimu dan menghantui malam-malamku. Kau selalu datang
dalam bayang dan mimpiku. Wajahmu yang penuh cahaya dan tenang selalu bertanya-tanya
“Untuk apa engkau hidup? Apakah di hatimu ada belas kasih? Apakah Tuhanmu menciptakanmu
hanya untuk membunuh? Kau taruh dimana akalmu dan hatimu?”
“Tidaaakkk.... hentikan!” pergi!
“Daniel! Bangun! Daniel! Bangun” (ibuku
mengguncangkan tubuhku)
“Tidak....”. Aku terbangun dengan
terkejut, kulihat Ibuku menatap
“Kau mimpi buruk?” tanyanya sambil menuangkan
air putih yang Ibu ambil dari meja samping tempat tidurku.
“Ibu, sepertinya besok aku harus
mengundurkan diri”. Sambil meneguk air putih, kucoba berbicara kapada Ibu.
“Mengapa?” tanya Ibuku
“Aku... Aku tak akan sanggup lagi harus
menderita. Peperangan ini, apakah ini dibenarkan, Bu? Apakah benar Tuhan kita
mengajarkan kita begini?, mengapa nyawa begitu tak berguna, apakah hanya ras
dan agama kita yang boleh hidup dan tegak berdiri?” Kuajukan
pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuatku resah. Ibu diam membisu,
sepertinya Iapun tak punya jawaban. “Tidurlah...” ucap Ibuku.
Sejujurnya malam ini bukanlah pertama
kali aku bermimpi. Sudah tiga bulan tepatnya aku selalu dihantui. Bukan hanya
pertanyaan-pertanyaan dari lelaki yang memberikanku kesempatan untuk hidup itu,
tapi juga wajah anak-anak yang penuh darah. Mereka menangis meminta dikembalikan
orang tua dan kebagian mereka. Huh! Aku mirip orang gila. Dan kali ini aku
sudah sangat lelah. Aku harus memutuskan. Aku tahu resikonya. Tapi bagaimana
lagi? Toh aku sudah terlalu lelah dan muak. Biarlah aku diasingkan. Lalu bagaimana
dengan Ibu? Aku akan memikirkannya nanti.
Kutekadkan hatiku. Kudatangi atasanku,
aku bicara padanya. Tentu saja, aku mendapatkan perlakuan kasar darinya. Ia tak
sudi menerima alasanku. Sudah berapa kali tamparan dan tendangan mendarat di
tubuhku, belum lagi cacian dan hinaan tak berhenti Ia lontarkan. Aku tak
membalas. Kubiarkan Ia. Aneh, hatiku tenang. Perihnya tamparan dan tendangan, hinaan
dan caciannya tak sebanding dengan tatapan laki-laki itu.
Akhirnya, atasanku menyerah. Ia membiarkanku
pergi. Pergi dengan syarat. aku menerima cap penghianat. Aku tak mendapat
pesangon. Senjataku dilucuti. Namun, Aku pergi dengan ketegasan dan harapan
baru.
Dua bulan setelah kejadian, aku mulai
bangkit dan entah mengapa aku berniat mencari laki-laki yang telah menghantuiku
dengan pertanyaan-pertanyaannya. Aku tahu, Ia adalah pimpinan pasukan. Tak sulit
mencarinya. Di camp-camp pengungsian, aku menemuinya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Aku datang dengan damai, tak bermaksud
lainnya” Kumelihat sorot mata yang curiga.
“Lalu?” tanyanya singkat.
“Ajari Aku tentang kedamaian hati”
balasku.
“Maksudmu? Tanyanya dengan memiringkan wajahnya.
Ia pasti tak mempercayaiku.
“Aku tertarik dengan hidup kalian, agama
kalian, dan mengapa kalian masih tak menyerah padahal minim sarana prasarana. Minim
sandang pangan dan sebaginya. Apa yang membuat kalian begitu tegar. Kenapa kalian
tak meninggalkan negeri ini? Aku ingi tahu!” kataku penuh emosi.
Ia tersenyum. Sungguh laki-laki yang
aneh. Pikirku. Sedetik kemudian Ia mengatakan sesuatu
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan
suatu benda yang diciptakan Allah, bayangnya berbolak-balik ke kanan dan ke
kiri, dalam keadaan bersujud kepada Allah, dan mereka bersikap rendah hati”
(Q.S An. Nahl, 16 : 48)
Hatiku tiba-tiba dilanda perasaan aneh. Serasa
bumi berhenti. Kata-kata itu pasti bukan berasal dari manusia pikirku saat itu.
Mengapa kedamaian itu hadir. Air mataku meleleh. Entah perasaan apa ini?.
“A...ajarkan Aku. Aku ingin memeluk
agamamu.” Aku tiba-tiba mengatakannya dengan penuh haru. kemudian engkau
menuntunku mengucapkan dua kaliamt sahadat yang disaksikan anak-anak dan
orang-orang yang ada dipengungsian. Resmi sudah aku menjadi seorang muslim. Aku
bahagia.
Aku temukan jawaban apa itu artinya hidup? Dalam Islam aku temukan jawabanya bahwa hidup adalah tentang menggerakan hati. Menerima seseorang, membenci dan menyukai seseorang, memperjuangkan sesuatu yang berharga, bersyukur dan bisa bermanfaat bagi orang lain itulah hidup. Aku tak akan menyia-nyiakannya. Kesempatan yang Tuhan berikan dalam batas waktu yang sangat singkat.
Satu tahun kemudian setelah aku menjadi
muslim, Tiba-tiba penjajah kembali meluncurkan bom. Meraka memaksa kami untuk
berperang. Orang-orang dulunya adalah temanku kini menjadi musuhku. Aku tak
bisa berdiam diri. Aku harus berjuang menghalau mereka. Tak kubiarkan sejengkal
tanah tumpah darah kami direbut olehnya. Palestina lebih berhagra dari jiwa
ini. Kubabat habis mereka, hingga tanpa kusadari aku terlampau jauh dari
pasukanku. Aku terkepung dan mereka tiba-tiba menghunuskan pedangnya. Aku terdiam. Lailaaha illallaah , Muhammadar Rasulullah....tiba-tiba pandanganku gelap. Tunai sudah
keresahan-keresahan itu. Aku berpindah ke dimensi lain meninggalkan segalanya
tentang dunia. Kutemui Rabb dengan penuh kebahagian.
Palembang, 29 September 2019
#KantinKrem
#FLPOKU
#LampauiBatasmu
Palestina: Tentang Kedamaian Hati
Reviewed by Ica Dorami
on
September 29, 2019
Rating:
No comments: