Kadang pada suatu waktu, sempat terfikir
olehku tentang apakah Tuhan menciptkan rasa benci, iri, dengki, merasa kagum
pada diri sendiri, kepongahan dan hal buruk lainnya? Kalaupun benar, untuk apa?
Dan bagaimana sesorang melekatkan diri pada sifat-sifat tersebut?
Bagaimanapun prosesnya, lingkungan
amatlah berpengaruh terhadap terbentuknya karakter pada diri seseorang. Orang tua
selaku orang pertama yang dikenal oleh seorang individu sedikit banyak
mempengaruhi pemebentukan karakter dasar seseorang. Apakah dalam kehidupan
rumah memberikan kasih sayang yang cukup, mengajarkan sikap dan norma-norma
baik atau pendek katanya apakah orang tua mencontohkan perilaku yang baik pada
lingkungan tumbuh kembang bagi calon individu yang akan mendewasa tersebut baru
kemudian individu dilepaskan sebagi pribadi yang telah tertanam karakter.
Dengan seiring berjalannya waktu,
hidup yang terus berjalan, sisi baik dan buruknya kehidupan kita jalanani. Kadang
terhempas pada lingkungan yang tidak baik tapi kadang terlempar juga pada
kondisi yang sangat baik sehingga yang kita temui punya implikasi yang sangat besar terhadap
cara pandang, cara menyelesaikan masalah hingga menjadikan kita pribadi yang
baru.
Pribadi baru tersebut bisa saja
seorang yang bijaksana tapi bisa juga sorang pecundang dengan segala karakter
buruk didalamnya. Manusia sebagai individu yang diciptakan Tuhan dengan
kesempurnaan akal dan hawa nafsu bebas memilih melekatkan diri pada sebuah
kehendak diri. Kecenderungan dan sudut pandang seseorang tak dapat kita
paksakan karena semua itu adalah hak progratif dari seseorang individu.
Dapat kita temukan bahwa
kebanyakan dari kita punya kecenderungan pada yang bersifat keduaniawian karena
melekatkan diri hanya pada sahwatnya saja. Sehingga harta, tahta dan segala
kemewahan dunia adalah tujuan hidupnya. Hal-hal yang bersifat duniawi yang tanpa
dibarengi dengan keimananlah dapat melekatkan diri kita pada sifat iri, dengki,
tak pernah merasa cukup, berbangga pada diri sendiri dan segala karakter yang
tidak baik lainnya.
Namun waktu akan membawa seseorang
pemikir dan tak memperturutkan
syahwatnya akan kembali pada karakter
dasar yang ditanamkan semasa kecil, akan
tiba waktu baginya untuk berfikir secara sederhana tentang kehidupan. Bagaimanapun
hidup akan membawanya pada sesuatu yang gamblang secara nyata. Tentang siapa
diri ini, tentang orang-orang yang hadir dalam hidup kita. Bagimanapun jalannya
kebaikan akan berpisah dengan keburukan. Orang-orang yang tulus akan hidup
berdampingan, orang-orang buruk perangai akan bersama dengan buruk perangai. Tapi
untuk mencapai titik tersebut kita akan melewati serangkain perjalanan yang
melelahkan dan mungkin sedikit tersesat dan butuh waktu lama untuk menemukan
jalan pulang.
Orang-orang akan bermetamorfosis
dengan apa yang diinginkan, ada yang memastikan bagimanapun sulitnya hidup,
tetap peluk erat kebaikan. Walau harus menangis dalam sunyi, walau harus terluka
dan tak ada yang perduli, ia memilih tetap harus kembali pada yang murni dan yang
menerima kemurnian hati.
Palembang, 18 September 2019.
Izinkan aku berdo'a bagi kebaikan sesama. sungguh aku ingin berlepas dari angan-anagn duniawi. sederhana saja kupinta agar aku menjadi pribadi yang menerima manfaat dan bersyukur dengan memberikan manfaat.
Gambar : https://www.google.com/search?q=waktu&safe=strict&sxsrf=ACYBGNQa9ZBpBd2MZ4jeaSdG-IddKdHU-g:1568772401304&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiz9tnNpNnkAhUEfX0KHY_3DYoQ_AUIESgB&biw=1517&bih=730&dpr=0.9#imgrc=FkEh5zHFDrQJ1M:
#WAGKantinKrem#FLPOKU
#OKUMenulis
Waktu dan Kesederhanaan Berfikir
Reviewed by Ica Dorami
on
September 17, 2019
Rating:
No comments: